CERPEN - Vas Bunga untuk Bunda

 


 

“Afifah, sudah malam. Tidur ya, Nak.”

Wanita paruh baya itu mencoba memberi tahu sang buah hati yang masih asyik bermain aplikasi Piano Tiles di layar tabletnya. Namanya Fitri Lathifah, wanita berusia 30 tahun yang dua tahun terakhir ini harus berjuang sendirian karena ditinggalkan oleh sang suami. Masih tersimpan jelas dalam memori otaknya tentang apa yang mantan suaminya pernah katakan. Sebuah ucapan penuh hinaan, sumpah serapah, dan bahasa-bahasa kasar bertemu karena amanah yang mereka emban begitu spesial.

Afifah meletakkan tabletnya di atas meja kemudian berjalan menuju kamar mandi. Agenda rutin sebelum tidur adalah menggosok gigi dan berwudhu. Sebuah kebiasaan baik yang sudah diajarkan Fitri kepada anaknya sedari kecil. Karena kebersihan adalah sebagian dari iman, pikirnya. Afifah yang baru berusia 5 tahun pun bisa memahami dan mengikuti arahan sang bunda dengan baik. Walaupun begitu, Afifah juga kerap bersikap nakal layaknya anak seusianya.

Malam semakin larut membuat detik jam terdengar cukup keras. Fitri mencoba memejamkan matanya di samping si buah hati, namun sulit sekali. Entah mengapa, malam ini suasana hatinya sedang tak tenang. Dia tiba-tiba teringat keluarganya yang ada di pulau seberang. Sebuah keputusan yang akhirnya membawanya dan Afifah ke ibukota provinsi Jawa Tengah. Keputusan untuk pergi dari rumah, dan merantau di pulau orang. Alasan yang cukup menyakitkan ketika diceritakan. Orang tuanya tidak siap menerima cucu dengan kondisi yang berbeda. Untuk itu, merantau keluar pulau adalah jalan terbaik sebagai alasan untuk jarang atau bahkan jangan sampai pulang kembali ke rumah. Jelas langkah yang sangat berat untuk dilakukan. Tapi apa daya, Fitri hanya bisa berdoa semoga keluarganya dapat ikhlas menerima Afifah sebagai anggotanya.

“Eeughh…” suara Afifah meregangkan badannya di atas kasur. Fitri yang belum tidur lalu melihat wajah anaknya. Yang kuat ya, Sayang. Kamu adalah alasan bunda kuat berjuang, ucapnya dalam hati. Ia bersyukur atas setiap nikmat yang Tuhan berikan. Fitri dan Afifah memang tidur berdua dalam satu kamar. Ia tak tega jika putrinya harus tidur sendirian. Ia takut tiba-tiba Afifah membutuhkan bantuan untuk melakukan sesuatu dan harus berteriak dengan susah payah.

***

“Bagaimana, Bu, apakah ada yang perlu direvisi?” salah seorang karyawan bernama Faya itu bertanya dengan lemah lembut.

“Sudah cukup, ganti mengerjakan yang lain ya, Fay.” jawab Fitri tak kalah lembut

“Baik, Bu.” ucap Faya yang kemudian berlalu ke ruang produksi.

Fitri adalah seseorang yang tidak menulis kata menyerah dalam kamus hidupnya. Menjadi lulusan terbaik jurusan tata busana, tak heran jika dia tetap bisa survive dan membuka usaha kecil di tempat rantaunya. Dengan tiga orang pekerja, setiap bulan ia bisa mendapatkan keuntungan yang cukup untuk memberikan upah sesuai dengan UMR. ‘Fitdress Fashion’ begitulah brand yang dikenalkan kepada khalayak umum. Bergerak khusus pada pembuatan dress pernikahan dan menerima pesanan beberapa seragam. Brand ini sudah dikenal banyak pejabat di kota ini sehingga sering mendapat pesanan untuk membuat seragam acara resmi. Usahanya semakin maju karena sikap dan perilakunya yang sangat sabar dan lembut. Hampir tidak ada pelanggan yang komplain dengan hasil kerjanya. Jikapun ada, ia tidak akan membalas dan langsung meminta maaf dengan penuh kesantunan. Hati yang lembut dan suci, seperti namanya, Fitri Lathifah.

            Fitri kembali melamun. Entah mengapa beberapa hari terakhir rasanya sangat banyak pikiran negatif yang menguasainya. Tanpa sengaja ia menyenggol gelas kaca berisi air yang baru di minumnya setengah. Gelas itupun jatuh ke lantai dan pecah. Faya yang baru saja kembali dari kamar mandi di samping ruangan Fitri kemudian menghampiri.

            “Ada apa, Bu?” ucap Faya dengan penuh keingintahuan.

            “Engga apa, Fay. Kayaknya saya lagi gak enak badan.” Fitri hanya menggeleng lemah.

            “Ibu pulang saja po? Nanti biar saya sama Bu Ninik dan Pak Umar yang jagain disini.” Faya mencoba memberikan solusi. Ia takut Fitri tiba-tiba pingsan seperti beberapa bulan terakhir.

            Fitri kembali menggeleng, sejenak mereka sama-sama diam.

            “Fay, apakah harta adalah patokan kebahagiaan?” ucap Fitri memecah keheningan.

            Faya berpikir sejenak sebelum menjawab.

            “Tidak, Bu. Kalau iya, apakah saya akan duduk di samping Ibu sekarang?” Faya mencoba menatap tajam Fitri, mencari-cari apa yang sebenarnya dipikirkan majikannya tersebut. Faya adalah anak seorang pengusaha dari Surabaya yang memiliki banyak cabang perusahaan di kota-kota besar di Indonesia. Namun, karena orang tua yang super sibuk dan sering beradu mulut ketika di rumah, ia tidak kuat dan akhirnya pergi ke Semarang. Disaat yang bersamaan, Fitri juga sedang membuka lowongan pekerjaan. Faya pun langsung diterima karena ia juga sangat pandai menggambar.

            “Lalu kenapa banyak orang yang tidak bahagia padahal sumbernya ada banyak selain uang yang melimpah?” ucap Fitri membalas jawaban Faya.

            “Karena mereka belum paham. Pada dasarnya kebahagiaan itu tercipta karena adanya harmonisasi pada setiap elemen kehidupan, Bu. Saling support, bukan saling menyalahkan. Saling berbagi kebahagiaan, kesedihan, mencari solusi bersama, dan yang paling penting bersyukur. Karena ketika kita bersyukur, hati kita yang paling dalam akan tenang, energi positif akan mendominasi, dan otak akan memerintahkan semua bagian tubuh untuk merasa bahagia.” Faya menjawab kembali dengan cukup panjang.

            “Hahaha belajar jadi motivator dimana kamu, Fay?” Fitri bertanya diiringi tawa mendengar jawaban Faya yang sudah seperti tayangan motivasi yang biasa tayang di televisi.

            “Ngarang sih, Bu. Tapi intinya, Ibu jangan sedih dan banyak pikiran ya. Saya akan selalu dukung Ibu kok. Bagaimanapun, Ibu sudah sangat baik dan menjadi bagian terbaik dihidup saya.” Faya nyengir sambil memperlihatkan giginya yang saling rapat.

            “Makasih ya, Fay. Ibu sudah tenang sekarang.” ucap Fitri.

            “Masama, Bu. Faya balik kerja lagi ya. Jangan ngelamun!” Faya bangun dari duduknya dan keluar dari ruangan Fitri. “Oh iya, ini biar saya yang bersihkan, Ibu duduk saja ya.” tambah Faya ketika sudah berada di mulut pintu yang langsung mendapat anggukan dari Fitri. Benar juga apa yang Faya bilang. Mungkin elemen kehidupanku belum harmonis, serunya dalam hati.

***

Matahari sudah mulai bergerak ke arah barat dengan semburat warna merah kekuningan yang meneduhkan mata. Beberapa burung terdengar berkicau bersama dan beberapa yang lain seakan terbang membelah birunya langit. Terdengar suara langkah kaki yang sudah sangat familiar di telinga Fitri. Langkah siapa lagi kalau bukan Afifah putri kesayangannya.

            Afifah akan mulai bersekolah dua hari lagi. Untung saja ada sekolah luar biasa di dekat lingkungan rumahnya. Afifah mengalami kesulitan bicara yang disebabkan oleh kemampuan mendengarnya yang rendah. Untuk keseharian, Fitri harus berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat. Walaupun begitu, ia kerap melantunkan suaranya walaupun tidak mendapat balasan dari si lawan bicara. Sebuah keistimewaan yang tidak banyak diterima oleh orang-orang terdekatnya. Mereka bilang, Afifah pembawa sial, Afifah tidak normal, Afifah lebih baik tidak hidup. Kata-kata itu terdengar sangat menyakitkan hingga menetap jelas dalam ingatan Fitri.

            “Apa, Sayang?” ucap Fitri sambil menggerakkan tangannya.

            Gerakan tangan Afifah menunjukkan bahwa ia ingin diajak jalan-jalan. Afifah memang suka sekali ketika diajak ke taman perumahan. Disana banyak arena bermain yang dapat dinikmati siapa saja tanpa harus mengeluarkan biaya. Namun, Fitri sering tidak mengabulkan permintaannya itu. Hal itu karena banyak tetangga yang suka membicarakan Afifah. Fitri tidak tega jika harus melihat Afifah dipandang sebelah mata dan dikucilkan di lingkungan.

            “Isss..” ucap Afifah sekuat tenaga dengan mata berbinar dan tangan yang dikatupkan di depan dada.

            “Iya, tapi sebentar saja yaa.” jawab Fitri mengiyakan. Kadang ia juga merasa kasihan jika Afifah hanya bermain sendirian tanpa teman. Fitri khawatir jika anaknya akan sulit bersosialisasi dimasyarakat.

            Suasana di taman perumahan kebetulan sedang sepi. Hanya ada tiga anak seusia Afifah yang sedang bermain ayunan. Namun, tiga anak itu sedikit terganggu dengan kehadiran Fitri dan Afifah dan akhirnya meninggalkan taman.

            Afifah menggerakkan tangan yang berarti “Mengapa sepi sekali, Bunda? dan mengapa tiga orang tadi pergi saat kita datang?” dengan raut wajah sedih dan kebingungan. Fitri pun menjawab dengan isyarat bahwa “Inilah kehidupan, Afifah. Ada yang datang, ada yang pergi. Bukan kuasa kita untuk mengatur siapa yang datang dan siapa yang pergi. Jadi jangan dipikirkan terlalu dalam ya.” Afifah mengangguk paham. Namun, ada yang mengganjal dihatinya. Ia pun kembali bertanya,

“Ayah pergi kemana, Bun?” Afifah menatap Fitri dan kemudian meraih tangannya untuk digenggam. Fitri terdiam. Seperti ada luka kecil di ujung hatinya yang kembali terbuka. Lebih menyakitkan daripada jika orang lain yang bertanya.

“Ayah pergi ke suatu tempat. Ini rahasia. Nanti Bunda ceritakan saat kamu sudah cukup dewasa.” Fitri menangkupkan tangannya pada pipi Afifah. Tanpa sadar, air matanya menetes. Afifah pun langsung memeluk Fitri dengan erat. Maafkan bunda ya, Afifah, ucap Fitri dalam hati.

***

Satu bulan berlalu. Afifah adalah anak yang pintar dan aktif di kelasnya. Tak heran, ketika sampai di rumah, Fitri selalu dibuat kagum dengan ilmu baru yang ia dapatkan. Afifah sangat senang ketika mendapatkan tugas menggambar dan membuat prakarya. Memanglah buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Kreativitas Fitri dalam menggambar menurun ke Afifah dengan mudahnya. Hasil gambarnya pun sudah cukup bagus jika dilihat dari usianya.

Ketika hari libur, Fitri kerap mengajak Afifah pergi menuju Simpang Lima untuk sekadar me-resfresh pikiran. Afifah sangat suka naik sepeda dan bermain balon sabun. Ia suka meniup sampai memonyongkan bibirnya. Fitri juga kadang mengajak Faya untuk ikut, karena ia tahu bahwa Faya sepertinya juga butuh berlibur untuk menyenangkan perasaannya. Karena sering berinteraksi dengan Afifah, Faya akhirnya juga mahir menggunakan bahasa isyarat.

“Fay, besok kita berlibur, Yuk!” tanya Fitri ketika jam kerja sudah hampir selesai.

“Kemana, Bu? Mau aja sih. Bosen juga cuma lihatin kain tiap hari.” sahut Faya senang dan disertai tawa diakhirnya.

“Enaknya kemana ya, Fay? Museum Ranggawarsita? Lawang Sewu? Kota Lama? Sam Poo Kong? Apa kemana?” Fitri mencoba memberikan pilihan lokasi mana yang akan mereka tuju.

“Pengen yang dingin-dingin, Bu. Lihat yang ijo-ijo. Ke Candi Gedong Songo gimana, Bu?” pinta Faya.

“Boleh juga tuh, biar Afifah juga bisa lihat Gunung ya. Kasihan lihat perumahan sama jalan raya terus. Berarti sekalian ajak Bu Ninik sama Pak Umar ya.” Fitri mengiyakan dan Faya mengangguk mantap. Bu Ninik dan Pak Umar adalah sepasang suami istri yang dulunya diusir dari rumah kontrakan karena sudah habis masa kontrak dan tidak bisa membayar. Mereka dulu bekerja sebagai pedagang roti bakar di depan SD dan dijajakan keliling. Namun usahanya tidak berjalan dengan lancar dan modal usaha sudah tidak ada lagi. Merekapun akhirnya bertemu Fitri dan dilatih menjahit dari nol hingga mahir seperti sekarang ini. Mereka tidak memiliki anak, oleh karena itu sering memanggil Fitri dengan sebutan ‘Nak’. Fitri tidak mengapa dipanggil seperti itu, toh dia juga sering merasa rindu dianggap anak oleh orang tuanya. Terkadang memang saudara tanpa hubungan darah mempunyai cinta yang besarnya tak terkira.

***

Pagi ini begitu cerah. Sebuah kabar baik karena Fitri akan mengajak keluarganya berlibur ke Candi Gedong Songo. Sebuah tempat yang berada di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut dan terletak di Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang. Selain dapat menikmati pemandangan yang indah, berwisata ke tempat ini juga dapat belajar kembali mengenai sejarah. Candi Gedong Songo sering menjadi destinasi utama para pelancong dari berbagai daerah.

“Sudah siap ya? Ayoo berangkat!” Fitri menyalakan mobilnya diikuti suara Faya dari belakang. “Berdoa dulu yukk!”

Bismillahi tawakkaltu alallahi lahaulawala quwwata illa billahil aliyyil adzim.

Mereka berangkat dari rumah pada pagi hari, berharap dapat merasakan sejuknya udara pegunungan yang masih asri. Afifah sedari tadi tersenyum dan menggerakkan tangan sambil melihat keluar jendela. Mungkin dalam hatinya ia merasa sangat senang karena bisa berlibur bersama dengan orang-orang yang ia sayangi.

Fitri berlaku sebagai sopir. Hal ini karena satu-satunya lelaki yang ada, yaitu Pak Umar tidak bisa mengendarai mobil. Jangankan mobil, Pak Umar bahkan tidak bisa mengendarai sepeda motor. Beliau biasanya berjalan kaki ataupun menggunakan kendaraan umum. Di samping Fitri adalah Faya, dan di bagian belakang adalah Pak Umar, Bu Ninik, dan Afifah yang berada di bagian tengah.

Di sepanjang perjalanan, terdengar suara Afifah yang seakan-akan menjerit melihat keindahan bentang alam. Jalan menuju Candi Gedong Songo memanglah meliuk-liuk dan di samping kanan kiri adalah hijaunya pemandangan yang menyegarkan mata. Fitri melihat Afifah dari kaca bagian tengah mobil, kemudian mengucap syukur dalam hatinya. Alhamdulillah Ya Allah, selalu bahagiakan Afifah putriku.

Sesampainya di lokasi, Fitri membeli tiket terlebih dahulu dan meminta yang lain untuk menunggu di dekat pintu masuk. Pak Umar ternyata membawa koran unttuk alas duduk dan Bu Ninik membawa makanan dalam rantang. Faya menggandeng Afifah seperti seorang kakak dengan sang adik. Mereka layaknya sebuah keluarga yang sangat harmonis.

“Kayak lagi piknik ini mah.” celetuk Faya disaat mereka sudah mulai berjalan.

“Jelas dong, piknik low budget tapi high value ya.” timpal Fitri disertai tawa.

Pak Umar, Bu Ninik, dan Afifah hanya diam saja. Mungkin bingung dengan apa yang mereka perbincangkan.

Tiba-tiba Afifah berhenti. Fitri ikut berhenti karena tangannya menggandeng Afifah.

“Ada apa, Nak?” tanya Fitri lembut.

“P e kk..” jawab Afifah sekuat tenaga. Fitri paham, itu berarti Afifah kelelahan. Jelas saja, untuk menuju satu candi ke candi lainnya harus melewati jalan terjal dan menanjak. Apalagi anak seusia Afifah, pasti akan mengeluh lelah.

“Mau Bunda gendong, Nak?” tanya Fitri lagi sambil berjongkok di depan Afifah.

“Mbah gendong aja ya? Kasihan Bunda pasti capek habis nyetir.” sahut Pak Umar dari belakang. “Wah, makasih ya, Pak.” jawab Fitri.

Afifah pun naik di atas punggung Pak Umar, dan Fitri ganti membawakan korannya. Disaat kembali berjalan, Fitri melihat keluarga lain yang sedang menggendong anak mereka. Ingin rasanya seperti itu, tapi apa daya, suaminya pergi meninggalkan tanpa rasa peduli.

“Cari suami baru saja, Nak.” suara Bu Ninik dari belakang yang otomatis mengagetkan Fitri.

“Tidak semudah itu, Bu. Lagipula saya tidak yakin ada yang mau menerima Afifah dengan lapang dada. Bapak kandungnya saja tidak mau, apalagi orang lain.” jawab Fitri dengan nada pesimis.

“Jangan begitu. Kita tidak bisa menilai orang dari apa yang kita lihat saja. Tidak ada yang bisa menjamin hati orang. Maka dari itu kita harus selalu berprasangka baik terhadap orang lain.” balas Bu Ninik lagi.

Fitri diam sejenak. Benar juga ya, astagfirullah, batinnya. Tanpa sadar mereka sudah tertinggal jauh dari Pak Umar, Faya dan Afifah. Fitri pun mengajak Bu Ninik sedikit berlari untuk menyusul. Faya yang melihat dari atas pun seperti sedang melihat lomba lari.

“Ayoo semangat Bu Fitri, yook bisa yook!” teriak Faya memberi semangat.

“Bu Ninik gak disemangatin, Fay!” teriak Bu Ninik tak kalah keras. Melihat ekspresi Bu Ninik, Fitri hanya tertawa kecil.

Sesampainya di atas, Pak Umar membantu Fitri untuk menggelar koran sebagai alas duduk dan beristirahat sejenak. Afifah berjalan menuju Fitri dan duduk di pangkuannya. Suasana yang lebih dingin ditambah pemandangan yang semakin indah membuat rasa lelah perjalanan tadi tidak berarti lagi. Faya yang bosan pun akhirnya memanggil Afifah untuk mengajaknya berfoto.

“Fah, sini-sini!” ucap Faya sambil melambaikan tangannya ke arah Afifah. Akan tetapi Afifah tidak merespon. Sudah jelas, Afifah memang kurang dalam hal pendengaran.

“Bu Fitri, Gabut nih. Aku mau main foto-foto sama Afifah yaa!” Faya pun ganti memanggil Fitri. Setelahnya, Afifah bangkit dari pangkuan Fitri dan berjalan menuju Faya.

Faya menggandeng tangan Afifah. Mereka bangun dari tikar dan berjalan mendekati candi pertama. Faya mengisyaratkan Afifah untuk berdiri di depan candi dan dia akan memotretnya. Seperti seorang fotografer handal, Faya sampai harus berjongkok demi mendapatkan hasil foto yang memuaskan. Sesekali Faya juga mengisyaratkan Afifah untuk berganti gaya. Afifah yang sudah biasa diajak berfoto pun mengerti harus seperti apa.

Setelah puas memotret Afifah dan tidak mungkin gantian, Faya memanggil Afifah untuk mendekat dengannya lagi. Kali ini ia akan mengajak Afifah untuk berswafoto. Dengan posisi masih berjongkok, Faya memanjangkan tangannya ke depan dan menggunakan kamera depan gawainya. Setelah mendapat posisi yang dianggap keren, tombol kamera gawainya dengan cepat di pencet dan foto merekapun tersimpan. Masih dalam posisi yang sama, Faya berbisik sambil melihat ke arah Afifah. “Anak baik, pintar, dan manis. Semangat terus dan jadi orang yang berguna ya. Kak Faya sayang kamu.”

Setelah asyik bermain berdua, Faya dan Afifah kembali ke tempat semula. Dari kejauhan terlihat Fitri melambai-lambaikan tangan. Ternyata mereka sedang menikmati masakan Bu Ninik.

“Ayo makan dulu sini!” ucap Bu Ninik sambil menunjukkan masakannya. Nasi putih di tambah ayam kecap dan kerupuk nampak menggugah selera makan. Afifah menghampiri Fitri dan membuka mulutnya untuk mendapatkan suapan pertama. Fitri yang paham langsung menyuapinya.

Setelah selesai makan, suasana menjadi semakin terik. Fitri pun memutuskan untuk mengajak semuanya pulang. Sebelum masuk ke dalam mobil, mereka menyempatkan untuk berfoto bersama di depan tulisan CANDI GEDONG SONGO. Semua tampak ceria dan bahagia serta saling melempar senyum satu sama lain. Kebahagiaan yang nyatanya dapat didapatkan dengan cara yang sederhana. Tidak terpikirkan sebelumnya, bahwa Fitri akan dipertemukan dengan manusia-manusia baik dengan nasib yang kurang baik seperti mereka. Ia paham, mungkin memang seperti inilah cara semesta bekerja. Tiba-tiba dan rahasia.

***

            Suara kicauan burung milik tetangga menyambut pagi yang sedikit mendung ini. Bulan Februari memang masih masuk dalam musim penghujan. Tak heran pada pagi haripun sering terjadi gerimis manis. Rintik-rintik kecil yang menenangkan ketika dinikmati dengan penuh rasa syukur.

            “Bangun, Nak. Sekolah ya hari ini.” ucap Fitri membangunkan Afifah yang masih terlelap. Dengan keadaan setengah sadar, Afifah bangun dari posisi berbaring dan duduk menghadap ibunya.

            “Mandi, sarapan, terus berangkat ya. Ayo anak manis, semangat sekolah yaa.” Ucap Fitri dengan bahasa isyarat dan mendapatkan anggukan diiringi senyum manis Afifah.

            Di sekolah, Afifah diajarkan banyak hal. Namun gurunya akan lebih fokus pada bidang minat yang disukai anak-anak. Karena Afifah suka menggambar dan membuat prakarya, maka topik tersebut menjadi pelajaran wajib dengan durasi waktu yang lebih panjang.

            Hari ini adalah pelajaran prakarya. Afifah diberikan tugas oleh Bu Aini untuk membuat sebuah benda yang dapat di pajang di rumah dan diberikan untuk anggota keluarga. Sejenak berpikir, ia kemudian memberi isyarat kepada Bu Aini untuk membuat sesuatu dari barang bekas. Bu Aini mengangguk sebagai tanda memperbolehkan.

            Semua alat yang dibutuhkan disediakan oleh pihak sekolah. Ide dari siswa ditampung dan para guru akan mencarikan apa saja yang dibutuhkan. Setelah didapatkan, barulah para siswa dibiarkan berkreasi sendiri dengan imajinasi masing-masing. Tidak butuh waktu lama, Bu Aini sudah mendapatkan apa yang Afifah inginkan. Sebuah botol kaca bening bekas, beberapa batu kerikil kecil, pasir, dan bunga dengan tangkai yang panjang. Sudah bisa ditebak apa yang akan dibuat Afifah dan untuk siapa karyanya akan diberikan.

            “Bagus sekali, Afifah. Hebat sekali kamu, Nak!” ucap Bu Aini.

            Afifah tersenyum, lalu bertanya apakah orang yang diberi karya ini akan suka atau tidak. Bu Aini menjawab dengan mantap. “Jelas dong!” Sambil membentuk tangan seperti huruf O menggunakan ibu jari dan jari telunjuk.

***

            Hari berganti. Tersiar kabar bahwa ada sebuah virus yang memasuki Indonesia. Dengan jumlah kasus yang semakin meningkat setiap hari, virus inipun kemudian ditetapkan sebagai pandemi oleh WHO. Itu artinya akan ditetapkan lockdown terutama di kota-kota besar, salah satunya Semarang.

            Setiap hari tak henti-hentinya tersiar kabar mengenai pandemi ini. Semua sektor nampaknya terdampak. Mulai dari pendidikan, perekonomian, hingga pemerintahan. Sekolah-sekolah mulai diliburkan, pasar dan pusat perbelanjaan sejenis ditutup, kegiatan di luar rumah ditiadakan, hingga banyak karyawan yang harus dirumahkan.

            Hampir semua kegiatan dilakukan secara daring. Tidak ada pertemuan tatap muka karena semua harus melakukan social distancing. Fitri mulai berpikir apakah usahanya akan ikut terdampak atau tidak. Banyak kabar yang beredar bahwa acara pernikahan yang seharusnya dilakukan di gedung-gedung mewah dengan ribuan tamu undangan harus dibatalkan untuk mencegah penularan. Rapat para pejabat juga dilaksanakan dengan panggilan video dari rumah masing-masing. Sudah jelas, sumber mata pencaharian Fitri terdampak hebat akibat kasus ini. Setelah menyelesaikan pesanan seragam dan satu baju pengantin terakhir, usaha ini sepertinya akan selesai sampai disini. Pemasukannya kosong, bagaimana bisa ia memberi upah. Fitri mencoba memutar otak supaya semuanya tetap baik-baik saja.

            “Bu, bagaimana? Apakah Ibu juga akan memecat kami?” ucap Faya pada pertemuan mendadak selepas menyelesaikan semua pesanan pelanggan. Fitri tertunduk. Ia menahan air mata.

            “Saya tidak tega jika harus melepaskan kalian. Kalian sudah saya anggap sebagai keluarga sendiri. Pak Umar dan Bu Ninik sudah seperti orangtua bagi saya. Faya, kamu juga sudah saya anggap sebagai adik. Tapi saya tidak memiliki simpanan untuk menggaji kalian pada masa seperti ini.” jawab Fitri diiringi dengan isakan air mata.

            “Nak, kalau kamu mau kami tetap disini, kami rela tidak digaji. Asalkan kami masih tetap punya tempat tinggal dan bisa makan. Kami tidak punya siapa-siapa lagi, Nak.” jawab Bu Ninik membalas penjelasan panjang Fitri.

            “Saya juga, Bu.” sahut Faya mendukung jawaban Bu Ninik.

            “Benarkah? Kalian ikhlas?” tanya Fitri.

            “Iya, Bu. Kita cari solusi bersama-sama ya. Walaupun hasilnya tidak sebesar pemasukan kemarin, yang penting kita bisa bertahan. Pasti ada jalannya, Bu.” jawab Faya meyakinkan. Fitri mulai memantapkan hatinya.

            “Baiklah, terimakasih ya semuanya.” Fitri tak bisa membendung air matanya lagi. Faya dan Bu Ninik kemudian maju untuk memeluknya. Benar-benar momen yang mengharukan. Disaat kita berada dititik terendah, kita memang membutuhkan supporting system yang ikhlas. Seperti Fitri yang saat ini sedang berada pada fase terendah dalam hidupnya, ia butuh Bu Ninik, Faya, Pak Umar, dan tentunya Afifah yang menguatkan.

            “Nd a.. k.. a.. pa?” Afifah tiba-tiba masuk ke dalam ruangan kerja yang digunakan sebagai tempat pertemuan mendadak tersebut. Fitri dengan refleks langsung mengusap air matanya menggunakan tangan.

            “Bunda baik kok. Afifah kok kesini tiba-tiba?” ucap Fitri mencoba menenangkan Afifah.

Afifah kemudian memberikan sebuah kotak kepada Fitri. Semua orang dalam ruangan itu terdiam dan menyimpan pertanyaan dalam hati masing-masing mengenai isi kotak tersebut.

“Terimakasih, Nak. Bunda buka, ya?” tanya Fitri sambil menerima kotak dari Afifah.

Setelah kotak dibuka, semua orang yang didalam ruangan terdiam. Apa maksudnya Afifah memberi Fitri sebuah Vas Bunga.

“Ini buat Bunda, Nak?” tanya Fitri meyakinkan dan dibalas anggukan dari Afifah. Faya mengernyitkan dahi dan bertanya mengenai maksud Afifah dengan bahasa isyarat.

Afifah mulai menggerak-gerakkan tangannya. Setelah selesai, semua orang di ruangan tersebut menangis. Mereka tidak menyangka, Afifah ternyata bisa berpikir seperti itu. Fitri pun langsung memeluk Afifah dengan sangat erat. Bu Ninik dan Faya juga ikut maju untuk memeluk mereka. Hari ini menjadi hari yang begitu mengharukan bagi semuanya.

“Ini hasil prakarya Afifah untuk Bunda. Vas bunga ini adalah kita. Bunda sebagai Vasnya, Afifah sebagai bunganya. Bunda tetap memiliki hati yang bening, walaupun dalam hidup Bunda penuh kerikil yang tajam dan pasir yang kadang menjatuhkan. Bunda juga masih mau menampung Afifah dalam hidup Bunda. Bunda tetep sayang sama Afifah dan menganggap Afifah adalah manusia yang sempurna.” ungkap Afifah tadi.

“Lalu kenapa bunganya layu, Nak?” tanya Fitri.

“Karena Afifah tidak sempurna, Bun. Afifah tau kalau Afifah tidak bisa mendengar dan berbicara dengan lancar. Afifah tidak seperti anak lainnya. Itu menjadi alasan mengapa banyak orang tidak mau dekat dengan Afifah. Afifah kadang merasa layu. Tapi Afifah selalu berdoa kepada Tuhan untuk menguatkan Afifah.” jawab Afifah diiringi tetesan air mata.

Afifah kemudian mengambil bunga yang sudah layu tersebut. Menggantinya dengan bunga yang baru. Kemudian kembali menggerak-gerakkan tangannya.

“Tapi Afifah sadar dan bersyukur, ada Bunda, Kak Faya, Mbah Ninik, Mbah Umar dan Bu Aini yang sayang sama Afifah dan mau menerima kelebihan serta kekurangan Afifah. Jadi sekarang Afifah adalah bunga yang segar. Bunga yang memberikan kebahagiaan untuk banyak orang.”

Fitri Lathifah. Seorang perempuan dengan hati selembut kapas dan sebening air. Dengan berbagai cobaan yang datang silih berganti, ia tetap menjadi pribadi yang baik hati. Membuat semua orang bersyukur mengenalnya. Ia tetaplah menjadi perempuan idaman walaupun sering sekali disia-siakan.

Pada akhirnya, perempuan yang lembut hatinya akan lebih baik daripada perempuan yang tinggi ilmunya tapi lisannya suka menjatuhkan lawan bicara. Lebih baik dari perempuan yang kaya raya, tapi sifatnya sombong, suka merendahkan orang lain dan selalu berburuk sangka. Karena sebaik-baiknya manusia adalah ia yang mampu memanusiakan manusia.

“Jaga baik-baik Vasnya ya, Bunda. Setelah pandemi berakhir, tugas prakarya ini baru bisa dinilaikan ke Bu Aini.” Ucap Afifah disela-sela tangis yang ada. Faya yang mendengarnya pun tertawa dan mencubit gemas Afifah. Semuanya akhirnya juga ikut tertawa. Terimakasih Ya Allah, Afifah adalah anugerah terindah dalam hidupku, ucap Fitri dalam hatinya.

 

***TAMAT***


 

Profil Penulis

            Belila Mega Utari lahir di Nganjuk, 21 Oktober 1999. Saat ini sedang aktif menjadi mahasiswa semester 8 di Universitas Negeri Semarang pada program studi Biologi. Mulai senang menulis cerita pendek sejak berada di bangku sekolah dasar. Karya pertamanya pernah diterbitkan di Majalah Sekolah MARS. Selain menulis cerita pendek, ia juga suka menulis puisi dan kata-kata motivasi. Ia bermimpi untuk dapat menerbitkan fabel dan buku-buku mengenai realita kehidupan. Dapat dihubungi melalui email : belilamega99@gmail.com.

Komentar