“Afifah, sudah malam. Tidur ya, Nak.”
Wanita paruh baya itu mencoba memberi tahu sang buah
hati yang masih asyik bermain aplikasi Piano
Tiles di layar tabletnya. Namanya Fitri Lathifah, wanita berusia 30 tahun
yang dua tahun terakhir ini harus berjuang sendirian karena ditinggalkan oleh
sang suami. Masih tersimpan jelas dalam memori otaknya tentang apa yang mantan
suaminya pernah katakan. Sebuah ucapan penuh hinaan, sumpah serapah, dan
bahasa-bahasa kasar bertemu karena amanah yang mereka emban begitu spesial.
Afifah meletakkan tabletnya di atas meja kemudian
berjalan menuju kamar mandi. Agenda rutin sebelum tidur adalah menggosok gigi
dan berwudhu. Sebuah kebiasaan baik yang sudah diajarkan Fitri kepada anaknya
sedari kecil. Karena kebersihan adalah
sebagian dari iman, pikirnya. Afifah yang baru berusia 5 tahun pun bisa
memahami dan mengikuti arahan sang bunda dengan baik. Walaupun begitu, Afifah
juga kerap bersikap nakal layaknya anak seusianya.
Malam semakin larut membuat detik jam terdengar cukup
keras. Fitri mencoba memejamkan matanya di samping si buah hati, namun sulit
sekali. Entah mengapa, malam ini suasana hatinya sedang tak tenang. Dia
tiba-tiba teringat keluarganya yang ada di pulau seberang. Sebuah keputusan
yang akhirnya membawanya dan Afifah ke ibukota provinsi Jawa Tengah. Keputusan
untuk pergi dari rumah, dan merantau di pulau orang. Alasan yang cukup
menyakitkan ketika diceritakan. Orang tuanya tidak siap menerima cucu dengan
kondisi yang berbeda. Untuk itu, merantau keluar pulau adalah jalan terbaik
sebagai alasan untuk jarang atau bahkan jangan sampai pulang kembali ke rumah.
Jelas langkah yang sangat berat untuk dilakukan. Tapi apa daya, Fitri hanya
bisa berdoa semoga keluarganya dapat ikhlas menerima Afifah sebagai anggotanya.
“Eeughh…” suara Afifah meregangkan badannya di atas
kasur. Fitri yang belum tidur lalu melihat wajah anaknya. Yang kuat ya, Sayang. Kamu adalah alasan bunda kuat berjuang,
ucapnya dalam hati. Ia bersyukur atas setiap nikmat yang Tuhan berikan. Fitri
dan Afifah memang tidur berdua dalam satu kamar. Ia tak tega jika putrinya
harus tidur sendirian. Ia takut tiba-tiba Afifah membutuhkan bantuan untuk
melakukan sesuatu dan harus berteriak dengan susah payah.
***
“Bagaimana, Bu, apakah ada yang perlu direvisi?” salah
seorang karyawan bernama Faya itu bertanya dengan lemah lembut.
“Sudah cukup, ganti mengerjakan yang lain ya, Fay.”
jawab Fitri tak kalah lembut
“Baik, Bu.” ucap Faya yang kemudian berlalu ke ruang
produksi.
Fitri adalah seseorang yang tidak menulis kata
menyerah dalam kamus hidupnya. Menjadi lulusan terbaik jurusan tata busana, tak
heran jika dia tetap bisa survive dan
membuka usaha kecil di tempat rantaunya. Dengan tiga orang pekerja, setiap
bulan ia bisa mendapatkan keuntungan yang cukup untuk memberikan upah sesuai
dengan UMR. ‘Fitdress Fashion’
begitulah brand yang dikenalkan kepada khalayak umum. Bergerak khusus pada
pembuatan dress pernikahan dan menerima pesanan beberapa seragam. Brand ini
sudah dikenal banyak pejabat di kota ini sehingga sering mendapat pesanan untuk
membuat seragam acara resmi. Usahanya semakin maju karena sikap dan perilakunya
yang sangat sabar dan lembut. Hampir tidak ada pelanggan yang komplain dengan hasil kerjanya. Jikapun ada, ia
tidak akan membalas dan langsung meminta maaf dengan penuh kesantunan. Hati
yang lembut dan suci, seperti namanya, Fitri Lathifah.
Fitri kembali melamun. Entah mengapa
beberapa hari terakhir rasanya sangat banyak pikiran negatif yang menguasainya.
Tanpa sengaja ia menyenggol gelas kaca berisi air yang baru di minumnya
setengah. Gelas itupun jatuh ke lantai dan pecah. Faya yang baru saja kembali
dari kamar mandi di samping ruangan Fitri kemudian menghampiri.
“Ada apa, Bu?” ucap Faya dengan
penuh keingintahuan.
“Engga apa, Fay. Kayaknya saya lagi
gak enak badan.” Fitri hanya menggeleng lemah.
“Ibu pulang saja po? Nanti biar saya
sama Bu Ninik dan Pak Umar yang jagain disini.” Faya mencoba memberikan solusi.
Ia takut Fitri tiba-tiba pingsan seperti beberapa bulan terakhir.
Fitri kembali menggeleng, sejenak
mereka sama-sama diam.
“Fay, apakah harta adalah patokan
kebahagiaan?” ucap Fitri memecah keheningan.
Faya berpikir sejenak sebelum
menjawab.
“Tidak, Bu. Kalau iya, apakah saya
akan duduk di samping Ibu sekarang?” Faya mencoba menatap tajam Fitri,
mencari-cari apa yang sebenarnya dipikirkan majikannya tersebut. Faya adalah
anak seorang pengusaha dari Surabaya yang memiliki banyak cabang perusahaan di
kota-kota besar di Indonesia. Namun, karena orang tua yang super sibuk dan sering
beradu mulut ketika di rumah, ia tidak kuat dan akhirnya pergi ke Semarang.
Disaat yang bersamaan, Fitri juga sedang membuka lowongan pekerjaan. Faya pun
langsung diterima karena ia juga sangat pandai menggambar.
“Lalu kenapa banyak orang yang tidak
bahagia padahal sumbernya ada banyak selain uang yang melimpah?” ucap Fitri
membalas jawaban Faya.
“Karena mereka belum paham. Pada
dasarnya kebahagiaan itu tercipta karena adanya harmonisasi pada setiap elemen
kehidupan, Bu. Saling support, bukan saling menyalahkan. Saling berbagi
kebahagiaan, kesedihan, mencari solusi bersama, dan yang paling penting
bersyukur. Karena ketika kita bersyukur, hati kita yang paling dalam akan
tenang, energi positif akan mendominasi, dan otak akan memerintahkan semua bagian
tubuh untuk merasa bahagia.” Faya menjawab kembali dengan cukup panjang.
“Hahaha belajar jadi motivator
dimana kamu, Fay?” Fitri bertanya diiringi tawa mendengar jawaban Faya yang
sudah seperti tayangan motivasi yang biasa tayang di televisi.
“Ngarang sih, Bu. Tapi intinya, Ibu
jangan sedih dan banyak pikiran ya. Saya akan selalu dukung Ibu kok.
Bagaimanapun, Ibu sudah sangat baik dan menjadi bagian terbaik dihidup saya.”
Faya nyengir sambil memperlihatkan giginya yang saling rapat.
“Makasih ya, Fay. Ibu sudah tenang
sekarang.” ucap Fitri.
“Masama, Bu. Faya balik kerja lagi
ya. Jangan ngelamun!” Faya bangun dari duduknya dan keluar dari ruangan Fitri.
“Oh iya, ini biar saya yang bersihkan, Ibu duduk saja ya.” tambah Faya ketika
sudah berada di mulut pintu yang langsung mendapat anggukan dari Fitri. Benar juga apa yang Faya bilang. Mungkin
elemen kehidupanku belum harmonis, serunya dalam hati.
***
Matahari sudah mulai bergerak ke arah barat dengan
semburat warna merah kekuningan yang meneduhkan mata. Beberapa burung terdengar
berkicau bersama dan beberapa yang lain seakan terbang membelah birunya langit.
Terdengar suara langkah kaki yang sudah sangat familiar di telinga Fitri.
Langkah siapa lagi kalau bukan Afifah putri kesayangannya.
Afifah akan mulai bersekolah dua
hari lagi. Untung saja ada sekolah luar biasa di dekat lingkungan rumahnya.
Afifah mengalami kesulitan bicara yang disebabkan oleh kemampuan mendengarnya
yang rendah. Untuk keseharian, Fitri harus berkomunikasi menggunakan bahasa
isyarat. Walaupun begitu, ia kerap melantunkan suaranya walaupun tidak mendapat
balasan dari si lawan bicara. Sebuah keistimewaan yang tidak banyak diterima
oleh orang-orang terdekatnya. Mereka bilang, Afifah pembawa sial, Afifah tidak
normal, Afifah lebih baik tidak hidup. Kata-kata itu terdengar sangat
menyakitkan hingga menetap jelas dalam ingatan Fitri.
“Apa, Sayang?” ucap Fitri sambil
menggerakkan tangannya.
Gerakan tangan Afifah menunjukkan
bahwa ia ingin diajak jalan-jalan. Afifah memang suka sekali ketika diajak ke
taman perumahan. Disana banyak arena bermain yang dapat dinikmati siapa saja
tanpa harus mengeluarkan biaya. Namun, Fitri sering tidak mengabulkan
permintaannya itu. Hal itu karena banyak tetangga yang suka membicarakan
Afifah. Fitri tidak tega jika harus melihat Afifah dipandang sebelah mata dan
dikucilkan di lingkungan.
“Isss..” ucap Afifah sekuat tenaga
dengan mata berbinar dan tangan yang dikatupkan di depan dada.
“Iya, tapi sebentar saja yaa.” jawab
Fitri mengiyakan. Kadang ia juga merasa kasihan jika Afifah hanya bermain
sendirian tanpa teman. Fitri khawatir jika anaknya akan sulit bersosialisasi
dimasyarakat.
Suasana di taman perumahan kebetulan
sedang sepi. Hanya ada tiga anak seusia Afifah yang sedang bermain ayunan.
Namun, tiga anak itu sedikit terganggu dengan kehadiran Fitri dan Afifah dan
akhirnya meninggalkan taman.
Afifah menggerakkan tangan yang
berarti “Mengapa sepi sekali, Bunda? dan mengapa tiga orang tadi pergi saat
kita datang?” dengan raut wajah sedih dan kebingungan. Fitri pun menjawab
dengan isyarat bahwa “Inilah kehidupan, Afifah. Ada yang datang, ada yang
pergi. Bukan kuasa kita untuk mengatur siapa yang datang dan siapa yang pergi.
Jadi jangan dipikirkan terlalu dalam ya.” Afifah mengangguk paham. Namun, ada
yang mengganjal dihatinya. Ia pun kembali bertanya,
“Ayah pergi kemana, Bun?” Afifah menatap Fitri dan
kemudian meraih tangannya untuk digenggam. Fitri terdiam. Seperti ada luka
kecil di ujung hatinya yang kembali terbuka. Lebih menyakitkan daripada jika
orang lain yang bertanya.
“Ayah pergi ke suatu tempat. Ini rahasia. Nanti Bunda
ceritakan saat kamu sudah cukup dewasa.” Fitri menangkupkan tangannya pada pipi
Afifah. Tanpa sadar, air matanya menetes. Afifah pun langsung memeluk Fitri
dengan erat. Maafkan bunda ya, Afifah,
ucap Fitri dalam hati.
***
Satu bulan berlalu. Afifah adalah anak yang pintar dan
aktif di kelasnya. Tak heran, ketika sampai di rumah, Fitri selalu dibuat kagum
dengan ilmu baru yang ia dapatkan. Afifah sangat senang ketika mendapatkan
tugas menggambar dan membuat prakarya. Memanglah buah jatuh tak jauh dari
pohonnya. Kreativitas Fitri dalam menggambar menurun ke Afifah dengan mudahnya.
Hasil gambarnya pun sudah cukup bagus jika dilihat dari usianya.
Ketika hari libur, Fitri kerap mengajak Afifah pergi
menuju Simpang Lima untuk sekadar me-resfresh
pikiran. Afifah sangat suka naik sepeda dan bermain balon sabun. Ia suka meniup
sampai memonyongkan bibirnya. Fitri juga kadang mengajak Faya untuk ikut,
karena ia tahu bahwa Faya sepertinya juga butuh berlibur untuk menyenangkan
perasaannya. Karena sering berinteraksi dengan Afifah, Faya akhirnya juga mahir
menggunakan bahasa isyarat.
“Fay, besok kita berlibur, Yuk!” tanya Fitri ketika
jam kerja sudah hampir selesai.
“Kemana, Bu? Mau aja sih. Bosen juga cuma lihatin kain
tiap hari.” sahut Faya senang dan disertai tawa diakhirnya.
“Enaknya kemana ya, Fay? Museum Ranggawarsita? Lawang
Sewu? Kota Lama? Sam Poo Kong? Apa kemana?” Fitri mencoba memberikan pilihan
lokasi mana yang akan mereka tuju.
“Pengen yang dingin-dingin, Bu. Lihat yang ijo-ijo. Ke
Candi Gedong Songo gimana, Bu?” pinta Faya.
“Boleh juga tuh, biar Afifah juga bisa lihat Gunung
ya. Kasihan lihat perumahan sama jalan raya terus. Berarti sekalian ajak Bu
Ninik sama Pak Umar ya.” Fitri mengiyakan dan Faya mengangguk mantap. Bu Ninik
dan Pak Umar adalah sepasang suami istri yang dulunya diusir dari rumah
kontrakan karena sudah habis masa kontrak dan tidak bisa membayar. Mereka dulu
bekerja sebagai pedagang roti bakar di depan SD dan dijajakan keliling. Namun
usahanya tidak berjalan dengan lancar dan modal usaha sudah tidak ada lagi.
Merekapun akhirnya bertemu Fitri dan dilatih menjahit dari nol hingga mahir
seperti sekarang ini. Mereka tidak memiliki anak, oleh karena itu sering
memanggil Fitri dengan sebutan ‘Nak’. Fitri tidak mengapa dipanggil seperti
itu, toh dia juga sering merasa rindu dianggap anak oleh orang tuanya.
Terkadang memang saudara tanpa hubungan darah mempunyai cinta yang besarnya tak
terkira.
***
Pagi ini begitu cerah. Sebuah kabar baik karena Fitri
akan mengajak keluarganya berlibur ke Candi Gedong Songo. Sebuah tempat yang
berada di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut dan terletak di
Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang. Selain dapat menikmati pemandangan
yang indah, berwisata ke tempat ini juga dapat belajar kembali mengenai
sejarah. Candi Gedong Songo sering menjadi destinasi utama para pelancong dari
berbagai daerah.
“Sudah siap ya? Ayoo berangkat!” Fitri menyalakan
mobilnya diikuti suara Faya dari belakang. “Berdoa dulu yukk!”
“Bismillahi
tawakkaltu alallahi lahaulawala quwwata illa billahil aliyyil adzim.”
Mereka berangkat dari rumah pada pagi hari, berharap
dapat merasakan sejuknya udara pegunungan yang masih asri. Afifah sedari tadi
tersenyum dan menggerakkan tangan sambil melihat keluar jendela. Mungkin dalam
hatinya ia merasa sangat senang karena bisa berlibur bersama dengan orang-orang
yang ia sayangi.
Fitri berlaku sebagai sopir. Hal ini karena
satu-satunya lelaki yang ada, yaitu Pak Umar tidak bisa mengendarai mobil.
Jangankan mobil, Pak Umar bahkan tidak bisa mengendarai sepeda motor. Beliau
biasanya berjalan kaki ataupun menggunakan kendaraan umum. Di samping Fitri
adalah Faya, dan di bagian belakang adalah Pak Umar, Bu Ninik, dan Afifah yang
berada di bagian tengah.
Di sepanjang perjalanan, terdengar suara Afifah yang
seakan-akan menjerit melihat keindahan bentang alam. Jalan menuju Candi Gedong
Songo memanglah meliuk-liuk dan di samping kanan kiri adalah hijaunya
pemandangan yang menyegarkan mata. Fitri melihat Afifah dari kaca bagian tengah
mobil, kemudian mengucap syukur dalam hatinya. Alhamdulillah Ya Allah, selalu bahagiakan Afifah putriku.
Sesampainya di lokasi, Fitri membeli tiket terlebih
dahulu dan meminta yang lain untuk menunggu di dekat pintu masuk. Pak Umar
ternyata membawa koran unttuk alas duduk dan Bu Ninik membawa makanan dalam
rantang. Faya menggandeng Afifah seperti seorang kakak dengan sang adik. Mereka
layaknya sebuah keluarga yang sangat harmonis.
“Kayak lagi piknik ini mah.” celetuk Faya disaat
mereka sudah mulai berjalan.
“Jelas dong, piknik low budget tapi high value ya.”
timpal Fitri disertai tawa.
Pak Umar, Bu Ninik, dan Afifah hanya diam saja.
Mungkin bingung dengan apa yang mereka perbincangkan.
Tiba-tiba Afifah berhenti. Fitri ikut berhenti karena
tangannya menggandeng Afifah.
“Ada apa, Nak?” tanya Fitri lembut.
“P e kk..” jawab Afifah sekuat tenaga. Fitri paham,
itu berarti Afifah kelelahan. Jelas saja, untuk menuju satu candi ke candi
lainnya harus melewati jalan terjal dan menanjak. Apalagi anak seusia Afifah,
pasti akan mengeluh lelah.
“Mau Bunda gendong, Nak?” tanya Fitri lagi sambil
berjongkok di depan Afifah.
“Mbah gendong aja ya? Kasihan Bunda pasti capek habis
nyetir.” sahut Pak Umar dari belakang. “Wah, makasih ya, Pak.” jawab Fitri.
Afifah pun naik di atas punggung Pak Umar, dan Fitri
ganti membawakan korannya. Disaat kembali berjalan, Fitri melihat keluarga lain
yang sedang menggendong anak mereka. Ingin rasanya seperti itu, tapi apa daya,
suaminya pergi meninggalkan tanpa rasa peduli.
“Cari suami baru saja, Nak.” suara Bu Ninik dari
belakang yang otomatis mengagetkan Fitri.
“Tidak semudah itu, Bu. Lagipula saya tidak yakin ada
yang mau menerima Afifah dengan lapang dada. Bapak kandungnya saja tidak mau,
apalagi orang lain.” jawab Fitri dengan nada pesimis.
“Jangan begitu. Kita tidak bisa menilai orang dari apa
yang kita lihat saja. Tidak ada yang bisa menjamin hati orang. Maka dari itu
kita harus selalu berprasangka baik terhadap orang lain.” balas Bu Ninik lagi.
Fitri diam sejenak. Benar juga ya, astagfirullah, batinnya. Tanpa sadar mereka sudah
tertinggal jauh dari Pak Umar, Faya dan Afifah. Fitri pun mengajak Bu Ninik
sedikit berlari untuk menyusul. Faya yang melihat dari atas pun seperti sedang
melihat lomba lari.
“Ayoo semangat Bu Fitri, yook bisa yook!” teriak Faya
memberi semangat.
“Bu Ninik gak disemangatin, Fay!” teriak Bu Ninik tak
kalah keras. Melihat ekspresi Bu Ninik, Fitri hanya tertawa kecil.
Sesampainya di atas, Pak Umar membantu Fitri untuk
menggelar koran sebagai alas duduk dan beristirahat sejenak. Afifah berjalan
menuju Fitri dan duduk di pangkuannya. Suasana yang lebih dingin ditambah
pemandangan yang semakin indah membuat rasa lelah perjalanan tadi tidak berarti
lagi. Faya yang bosan pun akhirnya memanggil Afifah untuk mengajaknya berfoto.
“Fah, sini-sini!” ucap Faya sambil melambaikan
tangannya ke arah Afifah. Akan tetapi Afifah tidak merespon. Sudah jelas,
Afifah memang kurang dalam hal pendengaran.
“Bu Fitri, Gabut nih. Aku mau main foto-foto sama
Afifah yaa!” Faya pun ganti memanggil Fitri. Setelahnya, Afifah bangkit dari
pangkuan Fitri dan berjalan menuju Faya.
Faya menggandeng tangan Afifah. Mereka bangun dari
tikar dan berjalan mendekati candi pertama. Faya mengisyaratkan Afifah untuk
berdiri di depan candi dan dia akan memotretnya. Seperti seorang fotografer
handal, Faya sampai harus berjongkok demi mendapatkan hasil foto yang
memuaskan. Sesekali Faya juga mengisyaratkan Afifah untuk berganti gaya. Afifah
yang sudah biasa diajak berfoto pun mengerti harus seperti apa.
Setelah puas memotret Afifah dan tidak mungkin
gantian, Faya memanggil Afifah untuk mendekat dengannya lagi. Kali ini ia akan
mengajak Afifah untuk berswafoto. Dengan posisi masih berjongkok, Faya
memanjangkan tangannya ke depan dan menggunakan kamera depan gawainya. Setelah
mendapat posisi yang dianggap keren, tombol kamera gawainya dengan cepat di pencet
dan foto merekapun tersimpan. Masih dalam posisi yang sama, Faya berbisik
sambil melihat ke arah Afifah. “Anak baik, pintar, dan manis. Semangat terus
dan jadi orang yang berguna ya. Kak Faya sayang kamu.”
Setelah asyik bermain berdua, Faya dan Afifah kembali
ke tempat semula. Dari kejauhan terlihat Fitri melambai-lambaikan tangan.
Ternyata mereka sedang menikmati masakan Bu Ninik.
“Ayo makan dulu sini!” ucap Bu Ninik sambil
menunjukkan masakannya. Nasi putih di tambah ayam kecap dan kerupuk nampak
menggugah selera makan. Afifah menghampiri Fitri dan membuka mulutnya untuk
mendapatkan suapan pertama. Fitri yang paham langsung menyuapinya.
Setelah selesai makan, suasana menjadi semakin terik. Fitri
pun memutuskan untuk mengajak semuanya pulang. Sebelum masuk ke dalam mobil,
mereka menyempatkan untuk berfoto bersama di depan tulisan CANDI GEDONG SONGO.
Semua tampak ceria dan bahagia serta saling melempar senyum satu sama lain.
Kebahagiaan yang nyatanya dapat didapatkan dengan cara yang sederhana. Tidak
terpikirkan sebelumnya, bahwa Fitri akan dipertemukan dengan manusia-manusia
baik dengan nasib yang kurang baik seperti mereka. Ia paham, mungkin memang
seperti inilah cara semesta bekerja. Tiba-tiba dan rahasia.
***
Suara
kicauan burung milik tetangga menyambut pagi yang sedikit mendung ini. Bulan
Februari memang masih masuk dalam musim penghujan. Tak heran pada pagi haripun
sering terjadi gerimis manis. Rintik-rintik kecil yang menenangkan ketika
dinikmati dengan penuh rasa syukur.
“Bangun, Nak. Sekolah ya hari ini.”
ucap Fitri membangunkan Afifah yang masih terlelap. Dengan keadaan setengah
sadar, Afifah bangun dari posisi berbaring dan duduk menghadap ibunya.
“Mandi, sarapan, terus berangkat ya.
Ayo anak manis, semangat sekolah yaa.” Ucap Fitri dengan bahasa isyarat dan
mendapatkan anggukan diiringi senyum manis Afifah.
Di sekolah, Afifah diajarkan banyak
hal. Namun gurunya akan lebih fokus pada bidang minat yang disukai anak-anak.
Karena Afifah suka menggambar dan membuat prakarya, maka topik tersebut menjadi
pelajaran wajib dengan durasi waktu yang lebih panjang.
Hari ini adalah pelajaran prakarya.
Afifah diberikan tugas oleh Bu Aini untuk membuat sebuah benda yang dapat di pajang
di rumah dan diberikan untuk anggota keluarga. Sejenak berpikir, ia kemudian
memberi isyarat kepada Bu Aini untuk membuat sesuatu dari barang bekas. Bu Aini
mengangguk sebagai tanda memperbolehkan.
Semua alat yang dibutuhkan
disediakan oleh pihak sekolah. Ide dari siswa ditampung dan para guru akan
mencarikan apa saja yang dibutuhkan. Setelah didapatkan, barulah para siswa
dibiarkan berkreasi sendiri dengan imajinasi masing-masing. Tidak butuh waktu
lama, Bu Aini sudah mendapatkan apa yang Afifah inginkan. Sebuah botol kaca
bening bekas, beberapa batu kerikil kecil, pasir, dan bunga dengan tangkai yang
panjang. Sudah bisa ditebak apa yang akan dibuat Afifah dan untuk siapa
karyanya akan diberikan.
“Bagus sekali, Afifah. Hebat sekali
kamu, Nak!” ucap Bu Aini.
Afifah tersenyum, lalu bertanya
apakah orang yang diberi karya ini akan suka atau tidak. Bu Aini menjawab
dengan mantap. “Jelas dong!” Sambil membentuk tangan seperti huruf O
menggunakan ibu jari dan jari telunjuk.
***
Hari berganti. Tersiar kabar bahwa
ada sebuah virus yang memasuki Indonesia. Dengan jumlah kasus yang semakin
meningkat setiap hari, virus inipun kemudian ditetapkan sebagai pandemi oleh
WHO. Itu artinya akan ditetapkan lockdown
terutama di kota-kota besar, salah satunya Semarang.
Setiap hari tak henti-hentinya
tersiar kabar mengenai pandemi ini. Semua sektor nampaknya terdampak. Mulai
dari pendidikan, perekonomian, hingga pemerintahan. Sekolah-sekolah mulai
diliburkan, pasar dan pusat perbelanjaan sejenis ditutup, kegiatan di luar
rumah ditiadakan, hingga banyak karyawan yang harus dirumahkan.
Hampir semua kegiatan dilakukan
secara daring. Tidak ada pertemuan tatap muka karena semua harus melakukan social distancing. Fitri mulai berpikir
apakah usahanya akan ikut terdampak atau tidak. Banyak kabar yang beredar bahwa
acara pernikahan yang seharusnya dilakukan di gedung-gedung mewah dengan ribuan
tamu undangan harus dibatalkan untuk mencegah penularan. Rapat para pejabat
juga dilaksanakan dengan panggilan video dari rumah masing-masing. Sudah jelas,
sumber mata pencaharian Fitri terdampak hebat akibat kasus ini. Setelah
menyelesaikan pesanan seragam dan satu baju pengantin terakhir, usaha ini
sepertinya akan selesai sampai disini. Pemasukannya kosong, bagaimana bisa ia
memberi upah. Fitri mencoba memutar otak supaya semuanya tetap baik-baik saja.
“Bu, bagaimana? Apakah Ibu juga akan
memecat kami?” ucap Faya pada pertemuan mendadak selepas menyelesaikan semua
pesanan pelanggan. Fitri tertunduk. Ia menahan air mata.
“Saya tidak tega jika harus
melepaskan kalian. Kalian sudah saya anggap sebagai keluarga sendiri. Pak Umar
dan Bu Ninik sudah seperti orangtua bagi saya. Faya, kamu juga sudah saya
anggap sebagai adik. Tapi saya tidak memiliki simpanan untuk menggaji kalian
pada masa seperti ini.” jawab Fitri diiringi dengan isakan air mata.
“Nak, kalau kamu mau kami tetap
disini, kami rela tidak digaji. Asalkan kami masih tetap punya tempat tinggal
dan bisa makan. Kami tidak punya siapa-siapa lagi, Nak.” jawab Bu Ninik
membalas penjelasan panjang Fitri.
“Saya juga, Bu.” sahut Faya
mendukung jawaban Bu Ninik.
“Benarkah? Kalian ikhlas?” tanya
Fitri.
“Iya, Bu. Kita cari solusi
bersama-sama ya. Walaupun hasilnya tidak sebesar pemasukan kemarin, yang
penting kita bisa bertahan. Pasti ada jalannya, Bu.” jawab Faya meyakinkan.
Fitri mulai memantapkan hatinya.
“Baiklah, terimakasih ya semuanya.”
Fitri tak bisa membendung air matanya lagi. Faya dan Bu Ninik kemudian maju
untuk memeluknya. Benar-benar momen yang mengharukan. Disaat kita berada
dititik terendah, kita memang membutuhkan supporting
system yang ikhlas. Seperti Fitri yang saat ini sedang berada pada fase
terendah dalam hidupnya, ia butuh Bu Ninik, Faya, Pak Umar, dan tentunya Afifah
yang menguatkan.
“Nd a.. k.. a.. pa?” Afifah
tiba-tiba masuk ke dalam ruangan kerja yang digunakan sebagai tempat pertemuan
mendadak tersebut. Fitri dengan refleks langsung mengusap air matanya
menggunakan tangan.
“Bunda baik kok. Afifah kok kesini
tiba-tiba?” ucap Fitri mencoba menenangkan Afifah.
Afifah kemudian memberikan sebuah kotak kepada Fitri.
Semua orang dalam ruangan itu terdiam dan menyimpan pertanyaan dalam hati
masing-masing mengenai isi kotak tersebut.
“Terimakasih, Nak. Bunda buka, ya?” tanya Fitri sambil
menerima kotak dari Afifah.
Setelah kotak dibuka, semua orang yang didalam ruangan
terdiam. Apa maksudnya Afifah memberi Fitri sebuah Vas Bunga.
“Ini buat Bunda, Nak?” tanya Fitri meyakinkan dan
dibalas anggukan dari Afifah. Faya mengernyitkan dahi dan bertanya mengenai
maksud Afifah dengan bahasa isyarat.
Afifah mulai menggerak-gerakkan tangannya. Setelah
selesai, semua orang di ruangan tersebut menangis. Mereka tidak menyangka,
Afifah ternyata bisa berpikir seperti itu. Fitri pun langsung memeluk Afifah
dengan sangat erat. Bu Ninik dan Faya juga ikut maju untuk memeluk mereka. Hari
ini menjadi hari yang begitu mengharukan bagi semuanya.
“Ini hasil prakarya Afifah untuk Bunda. Vas bunga ini
adalah kita. Bunda sebagai Vasnya, Afifah sebagai bunganya. Bunda tetap
memiliki hati yang bening, walaupun dalam hidup Bunda penuh kerikil yang tajam
dan pasir yang kadang menjatuhkan. Bunda juga masih mau menampung Afifah dalam
hidup Bunda. Bunda tetep sayang sama Afifah dan menganggap Afifah adalah manusia
yang sempurna.” ungkap Afifah tadi.
“Lalu kenapa bunganya layu, Nak?” tanya Fitri.
“Karena Afifah tidak sempurna, Bun. Afifah tau kalau
Afifah tidak bisa mendengar dan berbicara dengan lancar. Afifah tidak seperti
anak lainnya. Itu menjadi alasan mengapa banyak orang tidak mau dekat dengan
Afifah. Afifah kadang merasa layu. Tapi Afifah selalu berdoa kepada Tuhan untuk
menguatkan Afifah.” jawab Afifah diiringi tetesan air mata.
Afifah kemudian mengambil bunga yang sudah layu
tersebut. Menggantinya dengan bunga yang baru. Kemudian kembali menggerak-gerakkan
tangannya.
“Tapi Afifah sadar dan bersyukur, ada Bunda, Kak Faya,
Mbah Ninik, Mbah Umar dan Bu Aini yang sayang sama Afifah dan mau menerima
kelebihan serta kekurangan Afifah. Jadi sekarang Afifah adalah bunga yang
segar. Bunga yang memberikan kebahagiaan untuk banyak orang.”
Fitri Lathifah. Seorang perempuan dengan hati selembut
kapas dan sebening air. Dengan berbagai cobaan yang datang silih berganti, ia
tetap menjadi pribadi yang baik hati. Membuat semua orang bersyukur
mengenalnya. Ia tetaplah menjadi perempuan idaman walaupun sering sekali
disia-siakan.
Pada akhirnya, perempuan yang lembut hatinya akan lebih
baik daripada perempuan yang tinggi ilmunya tapi lisannya suka menjatuhkan
lawan bicara. Lebih baik dari perempuan yang kaya raya, tapi sifatnya sombong,
suka merendahkan orang lain dan selalu berburuk sangka. Karena sebaik-baiknya
manusia adalah ia yang mampu memanusiakan manusia.
“Jaga baik-baik Vasnya ya, Bunda. Setelah pandemi
berakhir, tugas prakarya ini baru bisa dinilaikan ke Bu Aini.” Ucap Afifah
disela-sela tangis yang ada. Faya yang mendengarnya pun tertawa dan mencubit
gemas Afifah. Semuanya akhirnya juga ikut tertawa. Terimakasih Ya Allah, Afifah adalah anugerah terindah dalam hidupku,
ucap Fitri dalam hatinya.
***TAMAT***
Profil Penulis
Belila Mega Utari lahir di Nganjuk, 21 Oktober 1999. Saat
ini sedang aktif menjadi mahasiswa semester 8 di Universitas Negeri Semarang
pada program studi Biologi. Mulai senang menulis cerita pendek sejak berada di
bangku sekolah dasar. Karya pertamanya pernah diterbitkan di Majalah Sekolah
MARS. Selain menulis cerita pendek, ia juga suka menulis puisi dan kata-kata
motivasi. Ia bermimpi untuk dapat menerbitkan fabel dan buku-buku mengenai
realita kehidupan. Dapat dihubungi melalui email : belilamega99@gmail.com.
Komentar
Posting Komentar